Beberapa hari ini beranda media sosial
saya penuh sesak dengan posting-an
dan komentar tentang “om telolet om”. Mulai dari foto, video, curhatan, sampai
meme-meme bertebaran memenuhi beranda Facebook dan Twitter saya. Agak muak
dengan semua itu, terlebih saat melihat kawan-kawan tertawa terbahak-bahak
memandang layar gawai di tangannya. Saat saya mencoba cari tahu apa yang
ditonton, rasa muak saya semakin menjadi, pasalnya yang sedang ditonton tidak
lain adalah video “om telolet om” di beranda Instagramnya.
Dalam hati saya mengutuk “Dasar
generasi telolet!”.
Jengah dengan semua itu saya mencoba
membuka salah satu portal berita online lewat laptop kesayangan yang sudah
usang. Drama Ahok ternyata sedang menjadi headline
di media itu. Agak penasaran saya buka link
headline tersebut. Sambil membaca saya mengangguk, sembari berkata dalam
hati, “sesuai prediksi, konspirasi politik kelas teri”. Selesai membaca berita
saya terus men-scroll mouse di
tangan, hingga pada kolom komentar. Ternyata komentar-komentar yang ada malah
kembali merusak mood saya yang sebelumnya
sempat membaik. Bagaimana tidak, beritanya tentang apa komentarnya tetap “om
telolet om”. Kali ini pisuhan saya
lebih keras lagi, yaitu binatang berkaki empat. “Jerapah!!”
Melihat generasi muda, dari anak SMP
sampai anak kuliahan terjebak dalam euforia “telolet” membuat saya merasa
perjuangan yang dilakukan selama ini sia-sia. Bagaimana tidak, ketika saya
berusaha setengah mati untuk mengobati luka bangsa, mereka justru merusak
semuanya dengan kegiatan naif, aneh, dan cacat seperti itu. Tidak ingin emosi
terus meningkat dan menguasai diri ini, saya mencoba menerapkan hadits Nabi,
bagaimanapun saya adalah pemuda yang shaleh dan rajin mengaji. Saya ambil
segelas air putih, kemudian meminumnya sembari duduk menenangkan hati dan
pikiran yang sempat kalut terbawa derasnya arus emosi yang begitu dahsyat.
Benar saja, setelah meneguk segelas
penuh air putih, pelan tapi pasti emosi mulai mereda. Pikiran dan hati yang
kalut kembali terbuka untuk berpikir jernih, membawa saya untuk ber-instropeksi
diri. Setelah tak pikir dan
ingat-ingat lagi, ternyata kontribusi saya untuk mengobati luka bangsa belum
seberapa, malah hampir tidak ada, hanya sebatas wacana tanpa aksi. Ternyata
saya juga tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sebelumnya saya sebut sebagai
“generasi telolet” tadi. Sejenak saya merenung sembari mengutuk diri sendiri
dalam hati. “Jerapah!”
Mencoba menghibur diri saya buka situs
Youtube, dengan niat nonton cewek-cewek seksi
seperti Lady Gaga, Christina Perry, atau produk lokal seperti Dhek Awkarin yang
sedang naik daun. Baru membuka halaman utama, saya langsung disuguhi video
tayangan ulang salah satu program talk
show ternama, sebut saja Mata-Mata. Judulnya cukup menarik perhatian saya,
tentang perjuangan petani di Pegunungan Kendeng melawan pabrik semen. Niat awal
untuk menonton cewek-cewek cantik dan
seksi pun saya kesampingkan untuk menonton talk
show itu.
Diskusi berjalan cukup menarik,
perwakilan petani yang diundang memaparkan alasan mereka menolak pabrik semen,
salah satunya terancamnya kelestarian lingkungan Pegunungan Kendeng. Kekecewaan
petani semakin memuncak saat gubernur mengeluarkan izin pembangunan pabrik
semen baru. Diskusi memanas saat Mbak Najwa, atau akrab saya panggil Mbak Nana
menghadirkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Ia hadir dengan perspektif
berbeda, yakni membantah adanya penerbitan izin baru dari pemerintah. Dengan
berbagai alasan ia mencoba berkelit dari tuduhan yang berkembang di masyarakat.
Mbak Nana yang memang terkenal ahli dalam hasut-menghasut tidak mau kalah untuk
menyudutkan Pak Gubernur, tidak pelak diskusi semakin memanas.
Terlepas dari talk show yang semakin memanas itu, saya jadi ingat perjuangan
rakyat-rakyat lain yang juga termarjinalkan. Mereka yang dipinggirkan dan
tengah berjuang merebut kembali hak-haknya yang direnggut penguasa fasis. Petani
Kulon Progo dan Sukamulya yang tengah berjuang melawan pembangunan bandara, masyarakat
Parangkusumo yang menolak penggusuran, nelayan yang melawan reklamasi di Teluk
Jakarta dan Teluk Benoa, serta perjuangan-perjuangan rakyat di tempat lain. Benar-benar
kisah perjuangan yang menggetarkan sisi kemanusiaan yang masih saya miliki. Saya
merasakan pukulan yang sangat telak mendarat tepat di wajah dan ulu hati.
Saya kembali ingat dengan “generasi
telolet” yang sempat saya singgung di atas, keinginan untuk mengkritisi dan
menghakimi kembali muncul dari benak saya. Sayangnya yang membuat pekewuh bahwa kontribusi yang telah saya
berikan untuk mengobati luka bangsa juga sama sekali belum bisa dibanggakan. Tapi
persetan dengan semua itu, saya putuskan untuk menjadi pengamat saja, menjadi
tokoh yang selalu benar tanpa dosa apapun.
Yang saya sesalkan sebenarnya di mana
peran pemuda saat petani, buruh, nelayan berjuang mempertahankan hak-hak
mereka? Kenapa sangat minim peran pemuda dalam perjuangan-perjuangan rakyat
tersebut, atau saya yang tidak tahu. Apa karena saya terlalu banyak
menghabiskan waktu di kamar kost, sehingga tidak tahu kalau ada pergerakan
pemuda dengan masa besar yang terorganisir untuk berjuang bersama petani,
buruh, dan nelayan? Sepertinya tidak, sangat kecil kemungkinan itu. Ini
subyektivitas saya, jadi pembaca tidak perlu membantah atau menanyakan dasar
dan sumber datanya.
Ke mana ratusan ribu mahasiswa yang
katanya agen perubahan, kontrol sosial, dan bla bla? Mahasiswa yang seharusnya
berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan hak rakyat seakan kehilangan
tajinya. Apakah mereka sudah terlalu sibuk dengan skripsi, tugas kuliah,
laporan praktikum, lomba karya tulis ilmiah, lomba debat, atau menyelesaikan
program kerja dan LPJ akhir tahun? Jika seperti itu, oportunis sekali mahasiswa
saat ini. Atau justru mereka yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan ini juga
ikut terjebak dalam euforia “om telolet om” seperti yang lainnya? Sungguh miris
dan mengerikan sekali jika memang begitu adanya. Mudah-mudahan tidak separah
itu degradasi mental, moral, dan intelektual yang di alami mahasiswa.
Mungkin pembaca heran, kenapa saya
terkesan sangat membenci “generasi telolet”. Kalau boleh jujur, saya sendiri
tidak tahu alasannya. Tidak ada landasan ilmiah maupun yuridis yang dapat saya
jadikan dasar kebencian kepada generasi itu. Hanya secara subyektif saya
menilai aktivitas yang mereka lakukan sama sekali tiada guna, mubadzir, dan
hanya buang-buang waktu saja. Sedangkan saya percaya, Tuhan sangat membenci
perilaku yang sia-sia.
Berkembangnya fenomena “generasi telolet” bisa jadi
menunjukkan tingkat frustasi masyarakat kita yang benar-benar sudah memuncak.
Tidak ada lagi yang bisa diharapkan, tidak ada lagi yang dapat menjanjikan
kebahagiaan. Negara yang dibela justru semakin gila dan tak berhenti membuat
luka. Agama yang dipuja malah menghianati dan membuat kecewa, sementara sepak
bola yang dijadikan pelarian hanya mampu membantu onani. Beban hidup masyarakat
benar-benar berat, tingkat frustasinya sudah mencapai status gawat. Walhasil
mereka mencoba mencari pelarian baru untuk mendapatkan kebahagiaan, meski hanya
semu, maka lahirlah fenomena “om telolet om” yang tengah berkembang sekarang.
Tidak banyak yang dapat saya lakukan, hanya bisa berdoa pada Tuhan, supaya
saya, orang-orang terdekat, yang saya cintai dan menyayangi saya dijauhkan dari
virus “telolet”. Prinsip saya, jika tidak dapat memperbaiki keadaan, minimal
tidak menambah rusak keadaan. Tiba-tiba terdengar suara satpam, membuyarkan
semua lamunan saya, bertanda jam besuk sekretariat sudah habis. Maklum, saya
masih hidup dalam neo orde baru, dimana NKK BKK masih subur dengan wajah yang
baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar