Selasa, 12 Juli 2016

Kau, Negara, dan Agama

Dwi Jiwa

Malam sepi di bawah langit Jogja
Lampu malam seperti enggan untuk menyinari
Bulan hanya berani mengintip dari balik pekatnya awan mendung
Apalagi bintang, yang tak berani menampakkan diri barang satupun
Hai, ingatkah kau tentang makan malam terakhir kita?
Ya, saat itu, sehari sebelum kau pergi
Ingatkah saat kau bilang "Nyaman juga Jogja kalau sepi ya"
Tahukah kamu, dalam hati aku berkata, Baru sadarkah dirimu?
Baru sadarkah kau terataiku, akan nikmatnya sepi
Akan indahnya kesunyian, akan nyamannya jiwa di dalam kesepian?
Maka dari itu, aku sangat mencintai kesunyian.
Tapi, tahukah kau yang lebih membahagiakan dari kesunyian?
Kenapa tidak kau jawab sayang?
Ah, aku lupa, aku sedang berbicara lirih di dalam hati
Yang lebih membahagiakan adalah berada di sampingmu Kasihku
Mungkin banyak orang yang mengharapkan harta atau kekuasaan
Tapi aku hanya mengharapkanmu Kekasih
Menghabiskan sisa umurku bersamamu
Menghembuskan nafas terakhirku di pangkuanmu
Gerimis mulai turun, membuat makan malam kita semakin romantis
Ah, kita? mungkin hanya aku yang merasakan
Bulan sudah tak nampak sama sekali
Aku tidak ingin romantisme ini cepat berlalu Terataiku
Tataplah dalam mataku, rasakan betapa dalamnya rasa ini
Maafkan aku, jika tak memperhatikan perkataanmu saat itu
Aku terlalu menikmati kebersamaan ini
Aku pernah berharap banyak pada negara,
Tapi hanya kesakitan yang ia berikan
Aku berharap juga kebahagiaan dari Agama,
Lgi-lagi kekecewaan yang ia berikan
Lalu, apakah Kau akan sama seperti mereka?
Tidak memberikan apapun kecuali rasa sakit kala aku tengah mengharapkanMu?

Jogjakarta, 12 Juli 2016